Tarekat, Esensi, dan Gus Miftah, Ketika Tuhan Bercerita Lewat Luka

Fenomena Gus Miftah pada Kajian Al Hikam Kyai Blora

Ada kalanya, dalam kebisuan langit malam, Tuhan berbisik kepada dunia dengan logika yang dibalikkan. Kita, yang terbiasa membaca garis lurus, tiba-tiba diperlihatkan lekukan yang tajam, lompatan yang menjauh dari pemahaman biasa. Demikianlah, kisah seorang Gus Miftah menjadi sandiwara besar, panggung yang dipenuhi celaan, sorotan, dan cacian.

Manusia, dalam kesempurnaannya yang rapuh, kerap lupa bahwa setiap luka adalah bait puisi yang Tuhan tuliskan. Gus Miftah, dengan segala kebisingan yang menyelimutinya, tidak lain adalah tokoh dalam sebuah hikayat kuno yang telah ditulis jauh sebelum kelahiran kita. Saat netizen berlomba melontarkan makian, sejatinya Gusti Allah sedang menari di antara huruf-huruf yang melompat dari layar gawai kita, mengisyaratkan bahwa cerita ini bukanlah sekadar drama, melainkan zikir yang terbalut ironi.

Logika Terbalik dalam Jejak Tarekat

Gus Miftah, dalam pandangan awam, mungkin terjerembab dalam lubang kenistaan. Namun bagi yang memahami jalan tarekat, ini adalah takdir yang telah tergurat di langit. Dalam kearifan ulama Blora, Kyai Imron Djamil, seorang pelaku tarekat justru harus terpeleset di depan manusia agar semakin jelas bahwa kemuliaan bukanlah milik dunia. Sebab, di atas kehinaan, seorang wali sering kali lahir.

"Siapa yang dipermalukan oleh dunia, sejatinya sedang dimuliakan oleh Tuhan," demikian tersirat dalam hikmah yang terserak di kitab-kitab tua. Gus Miftah, yang kini dihujat oleh jutaan jari, justru sedang disematkan mahkota yang tak terlihat oleh mata. Sebuah mahkota yang hanya dikenali oleh hati yang tunduk dan jiwa yang lapang.

Dunia Adalah Teater, dan Tuhan Sutradaranya

Saat seorang penjual es teh disebut "goblok," banyak yang berhenti pada makna permukaan. Namun, tidakkah ini cara Tuhan mengajari kita untuk melihat lebih dalam? Bukankah pelaku tarekat sering kali sengaja "jatuh" di mata awam, karena justru di sanalah kebenaran sejati bertumpu? Ini bukan soal benar atau salah, tetapi soal memahami bahwa dunia adalah panggung sementara.

Dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Atha'illah as-Sakandari, tertulis bahwa manusia sering kali diuji di puncak kejayaannya. Kejatuhan di muka umum bukanlah tanda kekalahan, melainkan jalan menuju kesempurnaan. Tuhan, dalam rahasia-Nya, meruntuhkan ego manusia di depan dunia agar jiwa mereka semakin dekat dengan-Nya.

Heri Ireng, Suara dari Pinggiran

Aku, Heri Ireng, hanyalah satu dari sekian banyak suara kecil di Blora. Aku memilih untuk diam dalam hiruk-pikuk ini, bukan karena tak peduli, tetapi karena aku percaya, Tuhan sedang menulis puisi yang tak bisa kubaca dengan tergesa-gesa. Aku memilih untuk memahami bahwa manusia bukan siapa-siapa, dan memang tidak perlu bagaimana-bagaimana.

Gus Miftah, bagiku, bukanlah sosok yang jatuh. Dia adalah bait dalam perjalanan panjang tarekat, sebuah jalan sunyi yang penuh duri, namun berujung pada terangnya cahaya. Ketika manusia lain sibuk menghakimi, aku lebih suka mendengarkan hikmah yang terselip di balik kejadian ini.

Dalam Jatuh Ada Terbitnya Cahaya Sebenarnya

Kita, manusia, sering kali terjebak pada penilaian kasat mata. Namun, tidakkah dunia ini terlalu dangkal jika kita hanya berhenti pada yang tampak? Dalam hiruk-pikuk ini, Gus Miftah mungkin saja adalah cermin yang Tuhan hadirkan untuk melihat diri kita sendiri. Apakah kita cukup bijak untuk memahami, atau justru terjebak dalam arus kebencian?

Dalam setiap kejatuhan, ada pelajaran. Dalam setiap cacian, ada doa yang tak terlihat. Dan dalam setiap luka, Tuhan sedang bercerita. Bukankah kita, seperti Gus Miftah, juga sedang menjalani naskah yang telah Tuhan tuliskan?