Konflik di Kawasan BKPH Nanas KPH Cepu Memanas, Petani Pesanggem Blora Resah atas Tindakan Perhutani Cepu
Berita Blora, Jawa Tengah – Tindakan Perhutani Cepu yang melakukan razia peralatan pertanian milik petani di kawasan BKPH Nanas KPH Cepu pada hari Kamis, 24 Oktober 2024, pukul 11.00 WIB, telah memicu keresahan di kalangan petani pesanggem. Insiden ini melibatkan Sajimin (50), seorang petani yang sedang bekerja di lahan hutan di Desa Ketringan.
Razia di Lahan Pertanian Milik Petani Pesanggem
Sajimin tengah membersihkan gulma di sekitar tanaman jagungnya saat tujuh petugas dari BKPH Nanas KPH Cepu, di antaranya bernama Joko, Wahyu, Pak Mantri Puji, Pak Mantri Gito, dan Kepala BKPH Nanas, tiba di lokasi. Setelah menyapa dan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai status keanggotaan Sajimin di kelompok tani hutan (KTH) setempat, para petugas kemudian mengambil beberapa peralatan pertanian miliknya, termasuk parang dan gergaji. Tak hanya itu, para petugas melakukan razia ke area hutan lain, menemui petani lain dan menyita peralatan mereka.
Pemasangan Papan Larangan oleh Perhutani Memperkeruh Situasi
Pada hari yang sama, petugas Perhutani memasang papan peringatan di beberapa titik di hutan Ketringan. Papan ini berisi larangan dan ancaman pidana terkait aktivitas pengolahan lahan di kawasan hutan, merujuk pada Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda hingga Rp5 miliar bagi pelanggar.
Aktivis Lokal Mengecam Tindakan Perhutani
Di tempat terpisah, Kamis (07/11/2024) Wiwit Prastawa, seorang aktivis lingkungan dan pendiri Lembaga LESSUS, menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan peninjauan ke lokasi dan menyampaikan kritik keras terhadap tindakan Perhutani Cepu. Wiwit menyoroti ketidaksesuaian aturan yang dipasang Perhutani dengan peraturan terkini, menekankan bahwa Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 telah mengalami berbagai perubahan, termasuk oleh UU Cipta Kerja dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
"Perbuatan ini berdampak buruk bagi petani yang telah bergantung pada hutan selama bertahun-tahun. Tindakan ini memicu rasa takut di kalangan petani yang menggantungkan hidup pada lahan di kawasan tersebut,” ujar Wiwit.
Ia menambahkan bahwa papan peringatan yang dipasang justru semakin memperkeruh situasi dan menciptakan kesalahpahaman di antara petani pesanggem yang merasa hak-hak mereka diabaikan.
Konflik Berkepanjangan di Hutan Ketringan
Konflik antara petani pesanggem dan Perhutani Cepu di kawasan BKPH Nanas KPH Cepu sebenarnya bukan hal baru. Kawasan hutan ini juga berada dalam peta kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus yang diusulkan oleh Kelompok Tani Hutan Tegal Pangonan Lestari pada Maret 2024. Adanya aturan dan ancaman hukum yang dipasang tanpa memperhatikan revisi peraturan yang ada dinilai Wiwit sebagai langkah yang tidak tepat dan berpotensi memicu konflik lebih lanjut.
Kawal Kasus ke Ranah Regulasi Nasional
Wiwit menegaskan bahwa permasalahan ini bukan hanya soal aturan semata, melainkan juga menyangkut kesejahteraan hidup petani yang telah lama menggantungkan hidup mereka pada lahan hutan. Sebagai aktivis yang juga terlibat dalam berbagai advokasi publik, ia berencana membawa masalah ini ke DPR RI agar ada penyelesaian menyeluruh dan pemahaman yang lebih baik di kalangan pejabat terkait aturan kehutanan.
“Perhutani sebagai BUMN seharusnya mengikuti perkembangan peraturan dan mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat. Kami akan mengawal kasus ini sampai ke ranah regulasi nasional,” ungkap Wiwit.